Oleh
Ustadz Abu Ubaidah Al-Atsari
HAJI MABRUR
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘ahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Umroh ke umroh berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya, dan tiada balasan bagi haji mabrur melainkan surga” [HR Bukhari : 1683, Muslim : 1349]
Haji Mabrur memiliki beberapa kriteria.
Pertama : Ikhlas. Seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer, kebanggaan, atau agar dipanggil “pak haji” atau “bu haji” oleh masyarakat.
“Artinya : Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan” [Al-Bayyinnah : 5]
Kedua : Ittiba’ kepda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berhaji sesuai dengan tata cara haji yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi pekara-perkara bid’ah dalam haji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Contohlah cara manasik hajiku” [HR Muslim : 1297]
Ketiga : Harta untuk berangkat haji adalah harta yang halal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik” [HR Muslim : 1015]
Keempat : Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan
“Artinya : Barangsiapa menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak boleh rafats (berkata-kata tidak senonoh), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan pada masa haji..”[Al-Baqarah : 197]
Kelima : Berakhlak baik antar sesama, tawadhu’ dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainnya.
Alangkah bagusnya ucapan Ibnul Abdil Barr rahimahullah dalam At-Tamhid (22/39) : “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal” [Latho’iful Ma’arif Ibnu Rajab hal. 410-419, Masa’il Yaktsuru Su’al Anha Abdullah bin Sholih Al-Fauzan : 12-13]
HAJI AKBAR
Pendapat yang populer dalam madzhab Syafi’i, hari “Haji Akbar” adalah hari Arafah (9 Dzul-Hijjah). Namun pendapat yang benar bahwa hari haji akbar adalah pada hari Nahr (penyembelihan kurban, yakni 10 Dzul-Hijjah], berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan rosul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar…” [At-Taubah : 3]
Dalam shahih Bukhari 8/240 dan shahih Muslim : 1347 disebutkan bahwa Abu Bakar dan Ali Radhiyallahu ‘anhuma mengumumkan hal itu pada hari nahr, bukan pada hari Arafah.
Dalam sunan Abu Dawud 1945 dengan sanad yang sangat shohih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Artinya : Hari haji akbar adalah hari nahr (menyembelih kurban)”
Demikian pula yang dikatakan oleh Abu Hurairah dan sejumlah shahabat radhiyallahu ‘anhum [Lihat Zadul Ma’ad Ibnul Qayyim 1/55-56]
GANTI NAMA USAI HAJI
Soal : Apakah hukumnya mengganti nama setelah pulang haji, seperti yang banyak dilakukan mayoritas jama’ah haji Indonesia, di mana mereka mengganti nama di Makkah atau Madinah, apakah ini termasuk sunnah ataukah tidak?
Jawab : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengganti nama-nama yang buruk dengan nama-nama yang bagus. Maka apabila jama’ah haji Indonesia tersebut mengganti nama mereka lantaran tersebut, bukan disebabkan usai melakukan ibadah haji atau karena berziarah ke Masjid Nabawi, maka hukumnya boleh. Namun apabila jama’ah haji Indonesia mengganti nama mereka lantaran alasan pernah di Makkah/Madinah atau usai melakukan ibadah haji, maka hal itu termasuk perkara bid’ah, bukan sunnah. [Fatawa Lajnah Daimah 2/514-515]
AIR ZAM-ZAM
Al-Humaidi rahimahullah berkata : Saya pernah berada di sisi Sufyan bin Uyainah rahimahullah, lalu beliau menyampaikan kepada kami hadits.
“Artinya : Air zam-zam tergantung keinginan seorang yang meminumnya”
Tiba-tiba ada seorang lelaki bangkit dari majelis, kemudian kembali lagi seraya mengatakan : “Wahai Abu Muhammad, bukankah hadits yang engkau ceritakan kepada kami tadi tentang zam-zam adalah hadits yang shahih?” Jawab beliau : “Benar”, Lelaki itu lalu berkata : “Baru saja aku meminum seember air zam-zam dengan harapan engkau akan menyampaikan kepadaku seratus hadits”. Akhirnya Sufyan rahimahullah berkata kepadanya : “Duduklah!”, Lelaki itupun duduk, dan Sufyan rahimahullah menyampaikan seratus hadits kepadanya. [Al-Mujalasah Abu Bakar Ad-Dinawari 2/343, Juz Ma’a Zam-Zam Ibnu Hajar hal. 271]
Semoga Allah merahmati Imam Sufyan bin Uyainah, alangkah semangatnya dalam menebarkan ilmu! Dan semoga Allah merahmati orang yang bertanya tersebut, alangkah semangatnya dalam menuntut ilmu dan sindiran lembut untuk mendapatkannya! [Fadhlu Ma’a Zam-Zam Sayyid Bakdasy hal. 137]
ASAL HAJAR ASWAD
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hajar aswad (ketika) turun dari surga lebih putih dari pada salju, lalu dosa-dosa anak Adam membuatnya hitam” [Shahih HR Tirmidzi : 877, Ibnu Khuzaimah : 1/271, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir 3/155, Ahmad 1/307, 329, 373. Lihat Silsilah Ash-Shahihah Al-Albani : 2618]
Kita beriman dengan hadits ini secara tekstual dan pasrah sepenuhnya, sekalipun orang-orang ahli filsafat mengingkarinya. [Lihat Ta’wil Mukhtalif Hadits Ibnu Qutaibah hal.542]
Sulaiman bin Khalil rahimahullah (imam dan khatib Masjidil Haram dahulu) menceritakan bahwa dirinya melihat tiga bintik berwarna putih jernih pada Hajar Aswad, lalu katanya : “Saya perhatikan bintik-bintik tadi, ternyata setiap hari berkurang warnanya” [Al-Aqdu Tsamin Al-Fasi Al-Makki 1/68, Asror wa Fadha’il Hajar Aswad Majdi Futhi Sayyid hal. 22]
Sungguh dalam hal itu terdapat pelajaran berharga bagi orang yang berakal, sebab jika demikian jadinya bekas dosa pada batu yang keras, maka bagaimana kiranya pada hati manusia?! [Fathul Bari Ibnu Hajar 3/463]
JEDDAH TERMASUK MIQOT?
Ada sebagian kalangan yang mencuatkan pendapat bahwa kota Jeddah boleh dijadikan sebagai salah satu miqot untuk jama’ah haji yang datang lewat pesawat udara atau kapal laut. Namun pendapat ini disanggah secara keras oleh Ha’iah Kibar Ulama dalam keputusan rapat mereka no. 5730, tanggal 21/10/1399 sebagai berikut.
Pertama : Fatwa tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqot bagi jama’ah haji yang datang dengan pesawat udara dan kapal laut merupakan fatwa yang batil, karena tidak bersandar pada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya serta ijma’ salafush shalih. Tidak ada satupun ulama kaum muslimin sebelumnya yang mendahului pendapat ini.
Kedua : Tidak boleh bagi jama’ah haji yang melewati miqot, baik lewat udara maupun laut (miqot Indonesia adalah Yalamlam, pent) untuk melampauinya tanpa ihram sebagaimana ditegaskan dalam banyak dalil dan dilandaskan oleh para ulama” [Fiqh Nawazil Al-Jizani 2/317, Tisir Alam Al-Bassam 1/572-573]
NAMA MIQOT MADINAH
Miqot penduduk Madinah atau jama’ah haji yang lewat Madinah adalah Dzul-Hulaifah [1] sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits. Adapun penamannya dengan “Bir Ali” sebagaimana yang populer di masyarakat maka hendaknya diganti. Sebab sebagaimana lafazh yang tertera dalam hadits itu lebih utama, apalagi kalau kita telusuri ternyata sumber penamaan Bir Ali (sumur Ali) adalah cerita yang laris manis di kalangan Rafidhah (Syi’ah) bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu pernah bertarung dengan jin di sumur tersebut, shingga karena itulah disebut Bir Ali.
Para ulama ahli hadits telah bersepakat menegaskan batilnya cerita tersebut, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Minhajus Sunnah 8/161, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah 2/344, Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/498, Mula Ali Al-Qari dalam Al-Maslak Al-Mutaqossith hal. 79, dan lainnya. [Qashashun La Tatsbutu Masyhur Hasan Salman 7/95-119]
DZIKIR KETIKA THAWAF
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Disunnahkan ketika thawaf untuk berdzikir dan berdo’a dengan do’a-do’a yang disyariatkan. Kalau mau membaca Al-Qur’an dengan lirih maka hal itu boleh. Dan tidak ada do’a tertentu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dari perintahnya, ucapannya, maupun pengajarannya, bahkan boleh berdo’a dengan umumnya do’a-do’a yang disyari’atkan. Adapun yang disebutkan kebanyakan manusia tentng do’a khusus di bawah mizab (talang Ka’bah) dan selainnya [2] semua itu tidak ada asalnya” [Majmu Fatawa 26/122]
PROBLEM ORANG YANG BOTAK
Telah dimaklumi, dalam haji ada syarat cukur/memendekkan rambut. Namun bagaimana dengan seorang yang botak dan tidak memiliki rambut untuk dicukur? Sebagian fuqaha mengatakan. Hendaknya dia tetap melewatkan alat cukur di kepalanya. Namun pendapat yang benar ialah hal ini dibenci, syari’at bersih darinya, (perbuatan itu) sia-sia dan tiada faedahnya, sebab melewatkan alat cukur hanyalah sekedar sebagai wasilah (perantara) saja bukan tujuan utama. Kalau tujuan utamanya gugur, maka wasilah tidak bermakna lagi. Persis dengan masalah ini adalah seorang yang lahir sedangkan dzakarnya sudah terkhitan, perlukah dikhitan lagi? Ataukah melewatkan pisau padanya? Pendapat yang benar adalah tidak perlu. [Lihat Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud Ibnul Qayyim hal. 330]
TITIP SALAM UNTUK NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Budaya titip atau kirim salam untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para jama’ah haji merupakan budaya yang perlu ditinggalkan dan diingatkan, sebab hal itu tidak boleh dan termasuk kategori perkara baru dalam agama. Alhamdulillah, termasuk keluasan rahmat Allah kepada kita, Dia menjadikan salam kita untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada beliau di manapun kita berada, baik di ujung timur maupun barat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Jangalah kalian jadikan kuburku sebagai perayaan, dan (jangan jadikan) rumah-rumah kalian sebagai kuburan, bershalawtlah kepadaku karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku di manapun kalian berada”.
Hadits-hadits yang semakna dengannya banyak sekali. [Lihat Al-Mustadrak ‘Ala Mu’jam Manahi Lafzhiyyah Sulaiman Al-Khurosi hal. 231-232]
[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 05 Tahun VI/Dzul-Hijjah 1427 (Januari 2007). Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’ahd Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
__________
Foote Note
[1]. Nama sebuah desa besar di jalan Madinah dahulu (lihat Mu’jam Buldan 2/111). Di sana ada sebuah masjid yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berangkat haji, beliau shalat dan ber-ihram di sana. Jaraknya dari Madinah kurang lebih 3 mil, dijangkau dengan mobil sekitar seperempat jam [Lihat Al-Haj Al-Mabrur Abu Bakar Al-Jaza’iri hal. 32]
[2]. Seperti do’a/dzikir tertentu untuk setiap putaran thawaf dan sa’i, maka ini juga tidak ada asalnya. [Lihat At-Tahqiq wal Idhah Abdul Aziz bin Baz hal. 29, Manasik Haji wal Umrah Ibnu Utsaimin hal.119, Syarh Manasik Haji wal Umrah Sholih Al-fauzan hal.75, Tashih Du’a Bakar Abu Zaid hal.520]
Sumber : http://www.alquran-sunnah.com
Baca Artikel Lainnya : FAEDAH IBADAH HAJI DAN UMRAH
SEPULUH KEUTAMAAN TENTANG HAJI
Even as a high school student, Dave Goldberg was urging female classmates to speak up. As a young dot-com executive, he had one girlfriend after another, but fell hard for a driven friend named Sheryl Sandberg, pining after her for years. After they wed, Mr. Goldberg pushed her to negotiate hard for high compensation and arranged his schedule so that he could be home with their children when she was traveling for work.
Mr. Goldberg, who died unexpectedly on Friday, was a genial, 47-year-old Silicon Valley entrepreneur who built his latest company, SurveyMonkey, from a modest enterprise to one recently valued by investors at $2 billion. But he was also perhaps the signature male feminist of his era: the first major chief executive in memory to spur his wife to become as successful in business as he was, and an essential figure in “Lean In,” Ms. Sandberg’s blockbuster guide to female achievement.
Over the weekend, even strangers were shocked at his death, both because of his relatively young age and because they knew of him as the living, breathing, car-pooling center of a new philosophy of two-career marriage.
“They were very much the role models for what this next generation wants to grapple with,” said Debora L. Spar, the president of Barnard College. In a 2011 commencement speech there, Ms. Sandberg told the graduates that whom they married would be their most important career decision.
In the play “The Heidi Chronicles,” revived on Broadway this spring, a male character who is the founder of a media company says that “I don’t want to come home to an A-plus,” explaining that his ambitions require him to marry an unthreatening helpmeet. Mr. Goldberg grew up to hold the opposite view, starting with his upbringing in progressive Minneapolis circles where “there was woman power in every aspect of our lives,” Jeffrey Dachis, a childhood friend, said in an interview.
The Goldberg parents read “The Feminine Mystique” together — in fact, Mr. Goldberg’s father introduced it to his wife, according to Ms. Sandberg’s book. In 1976, Paula Goldberg helped found a nonprofit to aid children with disabilities. Her husband, Mel, a law professor who taught at night, made the family breakfast at home.
Later, when Dave Goldberg was in high school and his prom date, Jill Chessen, stayed silent in a politics class, he chastised her afterward. He said, “You need to speak up,” Ms. Chessen recalled in an interview. “They need to hear your voice.”
Years later, when Karin Gilford, an early employee at Launch Media, Mr. Goldberg’s digital music company, became a mother, he knew exactly what to do. He kept giving her challenging assignments, she recalled, but also let her work from home one day a week. After Yahoo acquired Launch, Mr. Goldberg became known for distributing roses to all the women in the office on Valentine’s Day.
Ms. Sandberg, who often describes herself as bossy-in-a-good-way, enchanted him when they became friendly in the mid-1990s. He “was smitten with her,” Ms. Chessen remembered. Ms. Sandberg was dating someone else, but Mr. Goldberg still hung around, even helping her and her then-boyfriend move, recalled Bob Roback, a friend and co-founder of Launch. When they finally married in 2004, friends remember thinking how similar the two were, and that the qualities that might have made Ms. Sandberg intimidating to some men drew Mr. Goldberg to her even more.
Over the next decade, Mr. Goldberg and Ms. Sandberg pioneered new ways of capturing information online, had a son and then a daughter, became immensely wealthy, and hashed out their who-does-what-in-this-marriage issues. Mr. Goldberg’s commute from the Bay Area to Los Angeles became a strain, so he relocated, later joking that he “lost the coin flip” of where they would live. He paid the bills, she planned the birthday parties, and both often left their offices at 5:30 so they could eat dinner with their children before resuming work afterward.
Friends in Silicon Valley say they were careful to conduct their careers separately, politely refusing when outsiders would ask one about the other’s work: Ms. Sandberg’s role building Facebook into an information and advertising powerhouse, and Mr. Goldberg at SurveyMonkey, which made polling faster and cheaper. But privately, their work was intertwined. He often began statements to his team with the phrase “Well, Sheryl said” sharing her business advice. He counseled her, too, starting with her salary negotiations with Mark Zuckerberg.
“I wanted Mark to really feel he stretched to get Sheryl, because she was worth it,” Mr. Goldberg explained in a 2013 “60 Minutes” interview, his Minnesota accent and his smile intact as he offered a rare peek of the intersection of marriage and money at the top of corporate life.
While his wife grew increasingly outspoken about women’s advancement, Mr. Goldberg quietly advised the men in the office on family and partnership matters, an associate said. Six out of 16 members of SurveyMonkey’s management team are female, an almost unheard-of ratio among Silicon Valley “unicorns,” or companies valued at over $1 billion.
When Mellody Hobson, a friend and finance executive, wrote a chapter of “Lean In” about women of color for the college edition of the book, Mr. Goldberg gave her feedback on the draft, a clue to his deep involvement. He joked with Ms. Hobson that she was too long-winded, like Ms. Sandberg, but aside from that, he said he loved the chapter, she said in an interview.
By then, Mr. Goldberg was a figure of fascination who inspired a “where can I get one of those?” reaction among many of the women who had read the best seller “Lean In.” Some lamented that Ms. Sandberg’s advice hinged too much on marrying a Dave Goldberg, who was humble enough to plan around his wife, attentive enough to worry about which shoes his young daughter would wear, and rich enough to help pay for the help that made the family’s balancing act manageable.
Now that he is gone, and Ms. Sandberg goes from being half of a celebrated partnership to perhaps the business world’s most prominent single mother, the pages of “Lean In” carry a new sting of loss.
“We are never at 50-50 at any given moment — perfect equality is hard to define or sustain — but we allow the pendulum to swing back and forth between us,” she wrote in 2013, adding that they were looking forward to raising teenagers together.
“Fortunately, I have Dave to figure it out with me,” she wrote.
Dave Goldberg Was Lifelong Women’s Advocate